|
In the Eye of the Storm
Membaca di bagian pertama saja sudah membuat saya tertohok. Bagaimana tidak? Saya seperti membaca cermin. Cerita-cerita itu bayangan yang dipantulkan balik. Saya serasa melihat saya sendiri, kejatuhan saya, sakitnya saya menghadapi hidup yang terasa gak adil.
Cerita mas Ega mengalir, beberapa bagian malah satir dan komikal. Membuat cerita yang tadinya saya kira akan membosankan seperti happily ever after-nya sinetron-sinetron di Indonesia harus terkejut dengan twist yang pas pada saatnya. Saya tidak sadar kalau saya sudah sampai di bagian ending tiap bab saja setiap kali membacanya. Saya juga selalu dibuat menunggu untuk bab-bab selanjutnya. Dan mas Ega mampu membuat saya ikut merasa kesal, merasa marah, merasa sedih, ketawa getir, dan ikut bingung dengan apa yang harus dilakukan si tokoh dalam menghadapi hidupnya.
TRIUMPH ONE!
— Ginanjar Teguh Iman (@ginteguh); Born has Labiopalatoschisis. Writer, film-maker.
|